Hujan menggigil di kaca jendela, persis seperti kenangan yang menghantam hatiku setiap kali November tiba. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi dupa sandalwood, mengingatkanku pada senyum Mei Lan, senyum yang dulu hanya untukku. Dulu.
Delapan tahun berlalu sejak malam pengkhianatan itu. Delapan tahun aku memunguti serpihan hati yang ia remukkan. Delapan tahun aku melihat bayangan diriku sendiri patah di pantulan genangan air.
Aku kembali ke kota ini bukan karena rindu. Rindu sudah lama mati, terkubur di bawah tumpukan dendam yang kubangun perlahan. Aku melihatnya dari kejauhan, di antara kerumunan orang yang merayakan festival lentera. Mei Lan. Wajahnya sedikit menua, tapi matanya… tetap menyimpan kilau yang sama, kilau yang dulu membuatku rela melakukan apapun.
Lentera di tangannya nyaris padam, seperti harapan yang ia tinggalkan padaku. Aku mendekat, bayanganku memanjang dan menutupi cahayanya. Ia mendongak, matanya membulat.
"Li Wei?" suaranya bergetar, seperti daun yang diterpa badai.
Aku tersenyum, senyum dingin yang tak pernah ia kenal. "Lama tidak bertemu, Mei Lan."
Kami duduk di kedai teh pinggir jalan, di bawah atap reyot yang bocor di sana-sini. Hujan semakin deras, airnya menetes seperti air mata yang tak pernah kukeluarkan. Ia bercerita tentang hidupnya, tentang pernikahannya yang bahagia, tentang anaknya yang lucu. Aku mendengarkan, dengan senyum yang terus kupaksakan.
Setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah pisau yang menusuk jantungku. BAHAGIA? Ia berani berbicara tentang bahagia setelah apa yang ia lakukan?
Aku meraih tangannya, jemariku dingin. "Mei Lan, aku hanya ingin tahu satu hal."
Matanya bertanya, tapi bibirnya terkatup.
"Mengapa?" bisikku, suaraku hampir tenggelam dalam gemuruh hujan. "Mengapa kau melakukan itu?"
Ia menunduk, bahunya bergetar. Cahaya lentera di dekat kami semakin redup.
"Maafkan aku, Li Wei. Aku…"
Ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Sebuah kilatan cahaya, suara kaca pecah, dan jeritan yang memekakkan telinga. Mei Lan tergeletak di lantai, darah mengalir dari dadanya.
Aku menatapnya, tanpa ekspresi. Hujan terus mengguyur, membasahi tubuhnya yang tak bernyawa. Orang-orang berteriak panik, tapi aku hanya fokus pada satu hal: sebuah amplop kecil yang terjatuh dari tangannya.
Kubuka amplop itu. Di dalamnya, selembar foto usang dan sepucuk surat. Foto seorang pria yang kukenal, dengan senyum licik yang tak bisa kulupakan. Pria itu adalah ayahku.
Surat itu ditulis oleh Mei Lan, bertahun-tahun yang lalu. Di dalamnya, ia mengakui bahwa ia terpaksa meninggalkanku karena ayahku mengancam akan membunuh keluarganya jika ia tidak melakukannya. Ia mencintaiku, katanya. Ia selalu mencintaiku.
Kutarik napas dalam-dalam. Dendamku sudah terbalaskan. Mei Lan sudah membayar kesalahannya. Tapi, BAGAIMANA AYAHKU BISA TAHU BAHWA AKU AKAN KEMBALI KE KOTA INI MALAM INI?
You Might Also Like: 0895403292432 Jual Skincare Lokal_10
Post a Comment