Dracin Populer: Langit Yang Tak Lagi Mengenal Dewa

Langit yang Tak Lagi Mengenal Dewa

Kabut tipis menyelimuti Lembah Seribu Bunga, tempat Lian dan Feng tumbuh bersama. Mereka bagaikan dua cabang dari satu pohon sakura, akrab dan tak terpisahkan. Lian, dengan mata setajam elang dan senyum menawan, adalah seorang jenius pedang. Feng, tenang dan berwibawa, memiliki pikiran yang tajam bagai intan. Mereka bersumpah setia di bawah rembulan purnama, berjanji akan selalu saling melindungi, bahkan sampai akhir dunia.

"Lian, ingatlah," kata Feng suatu malam, suara rendah dan berbisik. "Janji kita lebih kuat dari baja. Lebih abadi dari gunung."

Lian membalas tatapan Feng, senyumnya menghilang. "Aku tidak akan pernah melupakanmu, Feng. Bahkan jika langit runtuh."

Namun, takdir adalah sungai yang berliku. Lian dan Feng ditakdirkan untuk memperebutkan takhta pewaris Sekte Naga Langit, sebuah sekte legendaris yang kekuatannya mampu mengguncang seluruh dunia persilatan. Di balik persahabatan mereka, tersembunyi ambisi dan rahasia keluarga yang gelap.

Lian mulai mencurigai Feng. Kenapa Feng selalu tahu langkahnya? Kenapa Feng selalu selangkah lebih maju? Setiap kemenangan Lian terasa hambar, seolah Feng membiarkannya menang.

"Kau tahu, Lian," ucap Feng suatu hari, sambil menuangkan teh panas. "Kau terlalu mudah ditebak. Ekspresimu terlalu jujur."

"Benarkah? Kurasa kau juga begitu, Feng," balas Lian, matanya menyipit. "Atau kau menyembunyikan sesuatu?"

Permainan kucing dan tikus pun dimulai. Dialog mereka bukan lagi obrolan sahabat, melainkan pertarungan kata-kata yang menyimpan racun. Senyum mereka adalah topeng yang menyembunyikan niat tersembunyi.

Rahasia mulai terungkap. Keluarga Lian ternyata bukan berasal dari garis keturunan murni Sekte Naga Langit. Ayahnya, seorang pendekar hebat, telah menutupi kebenaran ini untuk melindungi Lian. Dan Feng… Feng tahu segalanya.

PENGKHIANATAN. Kata itu bagaikan petir yang menyambar hati Lian. Selama ini, Feng telah menggunakan persahabatan mereka untuk memanipulasi Lian, demi ambisinya menjadi pewaris takhta.

"Kenapa, Feng?" tanya Lian, suaranya bergetar. "Kenapa kau lakukan ini padaku?"

Feng tersenyum pahit. "Karena takdir, Lian. Karena kau harus dikorbankan. Karena hanya dengan mengalahkanmu, aku bisa membuktikan bahwa aku layak."

Pertarungan terakhir terjadi di puncak Gunung Tengkorak, di bawah langit yang kelam dan mengamuk. Pedang Lian menari-nari dengan amarah, sementara pedang Feng bergerak dengan dingin dan perhitungan. Setiap tebasan menyimpan dendam dan kekecewaan.

Lian terluka parah. Ia berlutut, darah membasahi jubahnya. Feng berdiri di hadapannya, pedangnya terhunus.

"Kau tahu, Feng," kata Lian, dengan suara serak. "Aku tidak pernah membencimu. Aku hanya… kecewa."

Feng mengayunkan pedangnya.

Namun, sebelum pedang itu menembus jantung Lian, sebuah suara menggelegar memecah keheningan. Ibu Lian, yang selama ini bersembunyi, muncul dan melindungi Lian dengan tubuhnya.

"Ibunda!" seru Lian dan Feng bersamaan.

Ibu Lian menatap Feng dengan tatapan penuh kesedihan. "Feng, aku tahu rahasiamu. Kau… kau adalah anak haram dari pemimpin sekte sebelumnya. Kau juga berhak atas takhta ini."

Kebencian dan ambisi di mata Feng berubah menjadi kebingungan dan rasa sakit. Ia menjatuhkan pedangnya.

Ibu Lian menghembuskan napas terakhirnya di pelukan Lian. Sebelum menutup mata, ia berbisik: "Lian… jangan biarkan DENDAM menguasaimu…"

Lian memeluk ibunya, air matanya bercampur dengan darah. Ia menatap Feng, matanya dipenuhi dengan KEMARAHAN dan KEPUTUSASAAN.

"Aku bersumpah," kata Lian, suaranya bergetar. "Aku akan membuatmu membayar atas semua ini, Feng. Kau akan menyesal telah mengkhianatiku… dan ibuku."

Balas dendam Lian dimulai. Ia membantai semua pengikut Feng, menghancurkan semua rencananya, dan merebut kembali kehormatan keluarganya. Ia menjadi DEWA PEMBUNUH, ditakuti oleh seluruh dunia persilatan.

Akhirnya, Lian dan Feng bertemu kembali di Lembah Seribu Bunga, tempat mereka dulu bersumpah setia.

"Ini akhirnya, Feng," kata Lian, pedangnya menunjuk ke arah Feng.

"Aku tahu," jawab Feng, matanya kosong. "Aku sudah lama menunggumu."

Mereka bertarung dengan sengit, sampai kedua-duanya terluka parah. Di saat-saat terakhir, Feng berlutut di hadapan Lian, matanya dipenuhi penyesalan.

"Aku… aku salah, Lian," kata Feng, dengan suara lemah. "Maafkan aku…"

Lian tidak menjawab. Ia mengangkat pedangnya dan menebas leher Feng.

Feng jatuh ke tanah, darah mengalir deras dari lukanya. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, ia bergumam:

"Aku selalu… mencintai…mu…"

You Might Also Like: Jual Skincare Lokal Berkualitas Bisa

OlderNewest

Post a Comment