Aku Mencintaimu Sampai Takdir Pun Takut Menyentuh Kita
Hujan gerimis Seoul malam itu seakan meniru air mata yang kutahan. Di balkon apartemen mewahku, aku menyesap teh chamomile, aromanya gagal menenangkan jiwaku yang bergejolak. Di layar ponsel, fotomu terpampang. Senyummu, senyum yang dulu kurasa menghangatkan, kini terasa begitu asing dan... menipu.
Lima tahun. Lima tahun aku mencintaimu, Jian. Mencintai dengan sepenuh hati, menyerahkan seluruh diriku. Aku membangun kerajaan bisnis ini hanya untukmu. Aku ingin memberikanmu dunia, sebuah istana di mana kamu bisa menjadi ratunya.
Aku ingat malam itu, malam di bawah bintang-bintang Sungai Han, kamu berjanji akan selalu bersamaku. "Aku mencintaimu, Li Wei. Sampai kapan pun." Bisikanmu terasa seperti melodi indah yang kini berubah menjadi cacophony.
Namun, takdir ternyata memiliki selera humor yang kejam. Atau mungkin, bukan takdir. Tapi pilihanmu.
Aku mengetahuinya dari asistenku, orang yang paling kupercaya selain dirimu. Foto-foto itu... tawamu bersamanya... Pelukanmu yang dulu kurasa hanya untukku, kini terasa begitu beracun.
Hatiku hancur berkeping-keping. Aku bisa saja marah, mengamuk, menghancurkan segalanya. Tapi tidak. Aku terlalu lelah untuk drama. Aku terlalu elegan untuk terlihat bodoh.
Aku memilih diam. Aku memilih untuk menghilang.
Aku menjual sahamku di perusahaan, membekukan asetku, dan mengubah identitasku. Aku pindah ke Paris, memulai hidup baru di bawah nama baru.
Beberapa tahun berlalu. Aku mendengar tentang kebangkrutan perusahaanmu, Jian. Aku mendengar tentang skandalmu dengan pria itu, pria yang merebutmu dariku. Aku mendengar tentang penyesalanmu.
Suatu malam, aku melihatmu di sebuah galeri seni di Paris. Kamu terlihat lusuh, letih, jauh dari Jian yang dulu kukenal. Matamu bertemu mataku. Kamu mengenaliku.
Wajahmu pucat. Bibirmu bergetar. Kamu ingin bicara, tapi aku mengangkat tanganku, menghentikanmu.
Aku tersenyum. Senyum tipis, tanpa kehangatan, tanpa cinta. Senyum yang mungkin akan menghantuimu selamanya.
"Selamat menikmati penyesalanmu, Jian," bisikku tanpa suara.
Aku berbalik dan pergi, meninggalkanmu berdiri terpaku di sana. Aku tidak menggunakan uangku untuk menghancurkanmu. Aku tidak menggunakan kekuasaanku untuk menyakitimu. Aku hanya menggunakan kenangan kita untuk membunuhmu perlahan.
Karena itulah balas dendam yang sesungguhnya. Bukan darah, bukan air mata. Tapi penyesalan abadi yang akan menggerogoti jiwamu sampai akhir hayatmu.
Aku meninggalkan Paris keesokan harinya. Aku tidak ingin melihatmu lagi. Aku tidak ingin mengingatmu lagi. Tapi aku tahu, kita akan selalu terhubung. Kita akan selalu menjadi bagian dari cerita satu sama lain. Sebuah cerita tentang cinta yang dikhianati. Tentang janji yang berubah menjadi belati.
Cinta dan dendam... lahir dari tempat yang sama.
You Might Also Like: Tormach First Robotics Fixturing And
Post a Comment