Air Mata yang Menjadi Ukiran Takdir
Malam itu seperti MALIAPETAKA, menggantungkan awan tebal di atas Lembah Salju Abadi. Angin berdesir tajam, membawa serpihan salju yang menusuk kulit seperti ribuan jarum. Di tengah hamparan putih yang membisu itu, berdiri sebuah paviliun tua, cahayanya redup dan berkedip-kedip, seolah menahan napas menunggu badai.
Di dalam, aroma dupa cendana memenuhi udara, bercampur dengan bau amis yang memuakkan – darah. Darah memercik di atas lantai marmer putih, menodai kesuciannya. Di tengah lingkaran merah itu, duduklah Xiao Lan, matanya kosong menatap bara api yang menari-nari di perapian. Gaun sutra putihnya ternoda noda merah pekat, sebuah kontras MENGERIKAN.
Di depannya, terbaring Li Wei, tubuhnya bersimbah darah, napasnya tersengal-sengal. Matanya yang biasanya dipenuhi tatapan mencemooh, kini redup dan penuh ketakutan.
"Kenapa?" Bisiknya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar.
Xiao Lan tidak menjawab. Dia hanya menatapnya, tatapan sedingin es di puncak gunung. Cinta dan kebencian bercampur aduk di dalam hatinya, menciptakan badai yang lebih dahsyat dari badai salju di luar.
"Kau tahu, Li Wei," akhirnya Xiao Lan bersuara, suaranya lirih namun mematikan, "cinta kita... adalah sebuah KEBOHONGAN BESAR. Fondasinya dibangun di atas rahasia dan pengkhianatan."
Li Wei terbatuk, setetes darah segar mengalir dari sudut bibirnya. "Rahasia... apa?"
Xiao Lan bangkit, perlahan menghampiri Li Wei. Di tangannya tergenggam sebilah belati perak yang berlumuran darah. Cahaya api memantul di bilahnya, menciptakan tarian bayangan yang menyeramkan.
"Rahasia tentang malam itu, Li Wei. Malam di mana keluargaku dibantai. Malam di mana kau... kau menjadi penyebabnya."
Udara di dalam paviliun terasa membeku. Li Wei berusaha bangkit, tetapi lukanya terlalu parah. "Itu... itu tidak benar! Aku..."
"Cukup!" Xiao Lan memotong ucapannya dengan dingin. "Kau pikir aku bodoh? Aku melihatnya, Li Wei. Aku melihatmu berdiri di sana, di antara kobaran api, tersenyum MENANG!"
Air mata mengalir di pipi Xiao Lan, air mata yang bercampur dengan abu dari dupa yang terbakar. Air mata itu bukan lagi air mata kesedihan, melainkan air mata KEMARAHAN.
"Kau merebut segalanya dariku, Li Wei. Keluarga, kebahagiaan, kehormatan. Kau meninggalkanku dengan KESENDIRIAN yang tak berujung."
Li Wei menggelengkan kepalanya lemah. "Aku... aku mencintaimu, Xiao Lan. Aku bersumpah..."
Xiao Lan tertawa sinis. "Cinta? Cinta macam apa yang tega menghancurkan hidup seseorang? Cinta macam apa yang dibangun di atas DARAH DAN DUSTA?"
Dengan gerakan cepat, Xiao Lan mengangkat belatinya tinggi-tinggi.
"Aku berjanji, di atas abu keluargaku, di atas darahmu, aku akan membalas dendam. Aku akan memastikan kau merasakan sakit yang kurasakan selama bertahun-tahun ini."
Tidak ada perlawanan. Tidak ada lagi pembelaan. Hanya tatapan putus asa dan penyesalan yang terpancar dari mata Li Wei.
Belati itu menancap dalam.
Beberapa saat kemudian, paviliun itu sunyi senyap. Hanya suara angin yang menderu di luar, dan tetesan darah yang menetes dari belati perak yang masih tergenggam erat di tangan Xiao Lan.
Dia berdiri di sana, di antara salju yang memerah, di atas mayat orang yang pernah dicintainya. Balas dendamnya telah selesai. Hatinya yang hancur kini dipenuhi KEKOSONGAN.
Dengan tenang, Xiao Lan melangkah keluar paviliun, meninggalkan tubuh Li Wei di belakang. Dia berjalan menembus badai salju, menghilang ke dalam kegelapan malam.
Balas dendamnya memang sudah selesai, tetapi HARGA yang harus dibayarnya... baru saja dimulai.
Dan di tengah keheningan malam, dia tahu bahwa takdirnya, yang telah diukir dengan air mata dan darah, akan terus menghantuinya SELAMANYA.
Namun, ada satu rahasia lagi yang terpendam, yang bahkan belum terungkap padanya, sebuah rahasia yang akan mengubah segalanya jika suatu hari nanti terkuak...
You Might Also Like: 0895403292432 Jual Skincare Untuk Ibu
Post a Comment