Cerita Seru: Tangisan Yang Tak Lagi Kusembunyikan

Sinyal Wi-Fi berkedip-kedip seperti kunang-kunang sekarat di taman kota yang remuk. Di layar ponselku, balon chat aplikasi hijau itu berhenti di status sedang mengetik… abadi. Itu kamu, kan, Lin Wei? Kamu yang selalu berhenti di ambang pengakuan, di antara emoji hati yang ambigu dan stiker beruang yang meragu.

Aku, Ren, hidup di masa depan yang hancur. Bangunan pencakar langit roboh menjadi tumpukan beton, langit senja abadi menolak mentari. Di tengah debu dan karat, aku mencari jejakmu. Mencari sinyalmu.

Di dimensi lain, di masa lalu yang beraroma teh melati dan sepeda ontel berderit, Lin Wei menggenggam erat kalung giok yang sama persis dengan milikku. Dia duduk di bangku taman, di bawah pohon sakura yang tak pernah lagi mekar di masaku. Dia menatap langit yang biru, langit yang kurindukan.

"Apakah dia ada di sana?" bisiknya, suaranya hanya mampu didengar angin sore.

Satu-satunya koneksi kami adalah echo. Gema dari perasaan yang tidak tersampaikan, mimpi yang tidak terwujud. Aku mengirimkan pesan, terangkai dari kata-kata yang kurakit dari sisa-sisa kode: "Apakah kau melihat mentari pagi ini, Lin Wei? Apakah warnanya masih sehangat dulu?"

Balasannya datang bagai petir di tengah malam yang kelam: "Mentari… kurasa aku lupa bagaimana rasanya."

Aku merasakannya. Dia merasakanku. Tapi jarak antara masa lalu dan masa depan adalah jurang yang tak terlampaui. Seperti bintang yang mati, cahayanya masih sampai pada kita, meskipun ia telah lama lenyap.

Lalu, satu hari… chat itu menghilang. Profilnya lenyap. Dunia digital menelannya bulat-bulat.

Aku berteriak, Renungkan langit senja yang penuh debu. Tangisan yang selama ini kurasakan di dada meledak! Aku berteriak sampai serak, nama Lin Wei bagai mantra yang memanggil kehampaan.

Tapi, ada yang aneh. Sebuah foto muncul di layar ponselku. Foto kita. Aku dan Lin Wei. Berdiri di bawah pohon sakura yang rimbun, tertawa lepas. Foto itu buram, berdebu, kuno. Aku menelusuri tanggal pembuatannya: seratus tahun yang lalu.

RAHASIA itu terkuak.

Cinta kami bukanlah sebuah kisah yang baru dimulai. Bukan. Cinta kami adalah gema. Sebuah siklus yang berulang, terperangkap dalam ruang dan waktu. Kami adalah refleksi dari sebuah tragedi, dari kehidupan yang tak pernah selesai. Kita hanya dua orang yang ditakdirkan untuk saling mencari, untuk saling merindukan, dalam labirin dimensi yang tak berujung.

Dan sebelum layar ponselku benar-benar padam, sebelum kegelapan total menelanku… aku menerima satu pesan terakhir. Pesan itu hanya berisi satu kata. Kata yang selama ini aku dambakan:

Ren… tunggu aku…

You Might Also Like: Efecto Del Tiempo En Enzimas Collection

Post a Comment