Aku Menatap Lukisanmu, Dan Warna Darahnya Masih Baru

Aku Menatap Lukisanmu, dan Warna Darahnya Masih Baru

Aula Emas Istana Zifeng berkilauan di bawah cahaya ribuan lilin. Namun, keindahannya yang mempesona terasa hampa, dingin seperti hati kaisar. Di antara lautan jubah sutra dan wajah-wajah kaku para pejabat, tatapan Permaisuri Lian, dingin dan menghitung, menyapu ruangan. Bisikan-bisikan pengkhianatan merayap di balik tirai sutra merah, kata-kata tajam yang lebih mematikan dari pedang.

Di tengah kekacauan politis inilah, Kaisar Xuan dan Permaisuri Lian terikat. Pernikahan mereka bukan tentang cinta, melainkan perjanjian yang mengikat dua kekuatan besar. Xuan, dengan ambisi membara di matanya, melihat Lian sebagai kunci untuk menaklukkan para pemberontak di selatan. Lian, dengan keanggunan yang menyembunyikan tekad sekeras baja, melihat Xuan sebagai tangga menuju puncak kekuasaan.

"Kau sungguh cantik malam ini, Lian," bisik Xuan, bibirnya nyaris menyentuh telinga Lian. Aroma dupa dan kebohongan memenuhi udara.

"Kau menyanjungku, Yang Mulia," balas Lian, senyumnya hanya menyentuh bibir. "Tapi pujianmu berbau licik seperti biasanya."

Cinta mereka adalah permainan. Setiap sentuhan, setiap tatapan, setiap janji adalah senjata. Xuan berjanji akan menyerahkan takhta padanya, jika ia membantunya menyingkirkan para pembangkang. Lian, dengan lihai menyetujui, namun di dalam hatinya ia telah merencanakan sesuatu yang lain.

Bertahun-tahun berlalu. Xuan semakin berkuasa, berkat kecerdasan dan kesetiaan Lian. Namun, obsesinya pada kekuasaan membuatnya buta. Ia tidak melihat bahwa Lian diam-diam mengumpulkan sekutu, merangkai jaring pengkhianatan di sekelilingnya.

Malam itu, lukisan Xuan dipajang di aula utama. Sosoknya digambarkan gagah berani, dengan mata yang penuh ambisi. Namun, mata Lian tertuju pada warna merah yang digunakan untuk jubah kaisar. Warna darah… warnanya masih baru.

"Aku tahu," bisik Lian, suaranya nyaris tak terdengar, "kau mengkhianatiku. Kau tidak pernah berniat menyerahkan takhta padaku."

Xuan tertawa. Tawa yang dingin dan mengejek. "Kau naif, Lian. Cinta? Kekuasaan? Itu semua hanya alat untuk mencapai tujuan."

Lian tersenyum. Senyum yang mematikan. "Begitukah? Aku akan menunjukkan padamu, apa artinya tujuan yang sesungguhnya."

Di bawah tatapan ngeri para pejabat, Lian mengangkat gelas anggurnya. Anggur itu, sudah tercampur dengan racun tanpa ampun. Dengan anggun, ia menuangkannya ke dalam mulut Xuan.

Xuan tersentak, tangannya mencengkeram dadanya. Rasa sakit yang membakar membara di dalam dirinya. Ia menatap Lian, matanya penuh dengan pengkhianatan dan ketakutan.

"Kau…" ia terbatuk, darah menyembur dari mulutnya.

"Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan," jawab Lian, suaranya tenang. "Kau pikir aku hanya pion dalam permainanmu? Kau salah. Aku adalah Ratu, dan ini adalah kerajaanku."

Kaisar Xuan roboh ke lantai, mati. Suasana di aula Emas berubah menjadi hening yang memekakkan telinga. Lian melangkah maju, gaun sutranya menyapu lantai.

Lian menatap lukisan Xuan. Warna darahnya masih baru.

Lalu, dengan suara lantang yang menggema di seluruh istana, Permaisuri Lian mengumumkan, "Kaisar telah meninggal dunia. Aku, Permaisuri Lian, akan memerintah sebagai Wali sementara sampai pewaris yang sah ditemukan."

Dan di saat itulah, sejarah menulis ulang dirinya sendiri.

You Might Also Like: 0895403292432 Distributor Skincare

OlderNewest

Post a Comment