Kabut lavender menggantung di atas danau teratai. Dulu, kabut ini adalah saksi bisu canda tawa kami, Yi Wei dan aku, Lin Mei. Kami tumbuh bersama di rumah besar yang sama, terikat darah dan janji persaudaraan. Yi Wei, dengan senyumnya yang selalu bisa meneduhkan hati dan matanya yang menyimpan lautan rahasia. Aku, Lin Mei, yang selalu berusaha mengimbangi kecerdasannya, menyembunyikan perasaan yang tak seharusnya tumbuh di antara kami.
"Lin Mei," suaranya bagai beludru, menggoda di telingaku, "Kau tahu, bukan? Janji kita... selamanya."
Selamanya. Kata itu berputar di kepalaku, menjadi simpul yang semakin kencang mengikatku. Tapi, apa yang tidak kuketahui saat itu adalah, 'selamanya' versinya memiliki makna yang jauh berbeda.
Semuanya mulai berubah ketika warisan itu diumumkan. Warisan Klan Naga, yang seharusnya menjadi hak Yi Wei, tiba-tiba mengarah padaku. Sebuah nama yang terselubung dalam misteri kuno, tertera jelas di gulungan wasiat yang berumur ratusan tahun.
"Ini… ini pasti kesalahan," kataku, menatap Yi Wei dengan nanar.
Senyumnya tidak luntur, tapi matanya sedingin es. "Kesalahan? Tidak, Lin Mei. Ini adalah takdir yang terungkap."
Malam-malam selanjutnya dipenuhi dengan percakapan yang terasa bagai pedang yang saling beradu. Setiap kata adalah siasat, setiap senyum adalah topeng. Aku mencium aroma pengkhianatan di setiap sudut rumah, di setiap helai sutra yang menutupi dinding.
"Kau tahu, Lin Mei," ujarnya suatu malam, sambil menuangkan teh yang mengepul, "Darah itu lebih penting dari janji."
Rahasia demi rahasia mulai terkuak. Klan Naga bukanlah keluarga bangsawan biasa. Darah kami menyimpan kekuatan kuno, yang bisa menghancurkan atau membangun sebuah kekaisaran. Dan Yi Wei… Yi Wei bukanlah saudaraku. Dia adalah sepupuku, anak haram dari paman yang dibuang, yang seharusnya menjadi pewaris sah warisan itu.
Dialah yang seharusnya mendapatkan segalanya. Dan aku, Lin Mei, adalah penghalang.
Kebenaran yang terungkap bagai cambuk yang menyayat hatiku. Selama ini, aku hidup dalam ilusi persaudaraan yang indah, sementara Yi Wei merencanakan pengkhianatan yang sempurna. Dia menggunakan persahabatan kami, cintaku yang terpendam, untuk melumpuhkanku, untuk merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.
"Kau pikir aku buta, Yi Wei? Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau rencanakan?" Aku berdiri di hadapannya, pedang di tangan, siap untuk pertarungan terakhir.
"Aku hanya mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku, Lin Mei. Maafkan aku, tapi darah Naga mengalir deras di nadiku."
Pertarungan pun dimulai. Di bawah cahaya rembulan yang pucat, kami menari dalam kematian. Setiap tebasan pedang adalah ungkapan rasa sakit, setiap desahan adalah penyesalan. Aku bertarung bukan hanya untuk warisan Klan Naga, tapi untuk harga diri, untuk janji yang telah dia hancurkan.
Aku berhasil. Dengan napas tersengal, pedangku menembus jantungnya. Yi Wei tersenyum pahit, darah membasahi dadanya.
"Kau… kau menang, Lin Mei," bisiknya. "Tapi… kau… tidak akan pernah tahu… apa yang sebenarnya… aku lakukan… untukmu..."
You Might Also Like: 80 Boas And Pythons Possess Unique
Post a Comment