FULL DRAMA! Kau Tersenyum Tanpa Tahu Setiap Senyummu Menusuk Balik

Kau Tersenyum Tanpa Tahu Setiap Senyummu Menusuk Balik

Malam di Pingyao menggantung berat. Kabut tipis, seperti kain kafan, menyelimuti atap-atap rumah kuno, menelan suara kecuali erangan angin yang menyayat tulang. Di dalam Kuil Leluhur keluarga Li, dupa membakar sunyi, aromanya bercampur dengan bau anyir besi yang samar. Darah, bagaikan mawar merah yang tercampak di atas salju putih bersih.

Li Wei, dengan jubah hitamnya yang berkibar, berdiri di hadapan Xiao Qing. Wajahnya, biasanya selembut batu giok, kini keras membatu. Matanya, yang dulu menatap Xiao Qing dengan puja, kini bagai dua lubang hitam yang menganga, menyimpan amarah yang telah dipendam selama bertahun-tahun.

"Kau tersenyum, Xiao Qing," suara Li Wei pecah, seperti kaca yang retak. "Kau selalu tersenyum. Tapi setiap senyummu... setiap tawa renyahmu... adalah pisau yang menusukku, perlahan tapi pasti."

Xiao Qing, dengan gaun merah menyala yang kontras dengan salju di luar, menatap Li Wei tanpa gentar. Air mata mengalir di pipinya, menelusuri jejak arang dupa yang menempel di sana. "Li Wei... aku..."

"Diam!" Li Wei membentak, suaranya bergaung di antara pilar-pilar kayu. "Jangan sebut namaku dengan bibirmu yang penuh dusta. Apakah kau ingat, sepuluh tahun yang lalu? Malam di Danau Bulan Sabit? Janji yang kita ikrarkan di bawah rembulan?"

Kilatan memori melintas di mata Xiao Qing. Janji. Kebahagiaan yang seolah bisa diraih. Lalu... pengkhianatan.

"Ayahmu," lanjut Li Wei, nada suaranya berubah menjadi desisan ular. "Ayahmu membunuh seluruh keluargaku. Membakar desa kami hingga menjadi abu. Dan kau... kau diam saja. Kau memilih kekayaan dan kekuasaan daripada aku."

Xiao Qing terisak. "Aku tidak tahu! Aku masih kecil! Aku tidak punya pilihan!"

Li Wei tertawa hambar. "Pilihan? Semua orang punya pilihan. Kau memilih diam, dan diammu adalah persetujuan. Diammu adalah kematianku."

Dengan gerakan cepat, Li Wei mencabut pedangnya. Kilau peraknya menari di bawah cahaya lilin, memantulkan amarah di wajahnya. Xiao Qing menutup matanya.

"Aku bersumpah di hadapan arwah leluhurku," bisik Li Wei, suaranya rendah dan mematikan. "Aku akan membalas dendam. Aku akan mengambil semua yang kau punya. Aku akan menghancurkanmu, seperti kau menghancurkanku."

Pedang itu menebas, bukan ke arah Xiao Qing, melainkan ke arah patung leluhur keluarga Li di belakangnya. Patung itu hancur berkeping-keping, abu dan debu beterbangan di udara.

Xiao Qing membuka matanya. Dia tidak mengerti.

"Aku tidak akan membunuhmu dengan pedang," kata Li Wei, menyarungkan kembali pedangnya. "Kematian terlalu mudah. Aku akan membunuhmu perlahan, dari dalam. Aku akan membuatmu merasakan sakit yang aku rasakan selama sepuluh tahun ini."

Dia mendekati Xiao Qing, meraih dagunya dengan kasar. Matanya menyala-nyala dengan kebencian dan... sesuatu yang menyerupai kesedihan.

"Kau akan menikah dengan putraku," bisik Li Wei di telinga Xiao Qing. "Dan kau akan melahirkan pewaris keluarga Li. Kemudian... kemudian kau akan menyaksikan dengan mata kepalamu sendiri, bagaimana aku menghancurkan segalanya."

Xiao Qing meronta, tapi cengkeraman Li Wei terlalu kuat. Air matanya mengalir semakin deras.

"Ini janjiku," desis Li Wei. "Janji di atas abu. Janji yang akan kupegang hingga akhir hayatku."

Dia melepaskan cengkeramannya dan berbalik.

"Pengantin akan tiba dalam tiga hari," kata Li Wei, tanpa menoleh. "Pastikan dia siap."

Li Wei menghilang di balik kabut, meninggalkan Xiao Qing sendirian di kuil yang sunyi. Aroma dupa dan darah masih menggantung di udara, bercampur dengan bau putus asa.

Tiga hari kemudian, Xiao Qing menikah dengan putra Li Wei. Upacara itu megah, penuh kemewahan dan senyum palsu. Tapi di balik semua itu, tersimpan dendam yang membara, menunggu saat yang tepat untuk meledak.

Bertahun-tahun berlalu. Xiao Qing melahirkan seorang putra, pewaris keluarga Li. Dia memainkan perannya dengan sempurna, sebagai istri yang setia dan ibu yang penyayang. Tapi di dalam hatinya, dia menyimpan rahasia gelap dan rencana pembalasan yang jauh lebih mengerikan daripada yang dibayangkan Li Wei.

Suatu malam, saat Li Wei terlelap di kamarnya, Xiao Qing menyelinap masuk. Dia membawa secangkir teh panas. Teh itu beraroma manis dan menenangkan, tapi di dalamnya tercampur racun mematikan.

Li Wei terbangun dan menatap Xiao Qing dengan bingung.

"Apa ini?" tanyanya.

"Hadiah dariku," jawab Xiao Qing, tersenyum dingin. "Setelah sekian lama, kurasa ini saatnya untuk memberimu sedikit 'kedamaian'."

Li Wei menatap cangkir teh itu, lalu menatap Xiao Qing. Matanya membulat karena terkejut dan ngeri. Dia tahu. Dia selalu tahu.

Dia perlahan mengangkat cangkir itu ke bibirnya.

"Kau... menang," bisik Li Wei, sebelum meneguk teh beracun itu hingga habis.

Xiao Qing tersenyum, senyum yang tidak pernah ditunjukkan pada Li Wei sebelumnya. Senyum yang dingin, mematikan, dan penuh kepuasan.

"Tidak," bisik Xiao Qing, serak. "Kita berdua kalah."

Li Wei ambruk ke lantai, tubuhnya kejang-kejang. Xiao Qing berdiri di sana, menatapnya tanpa ekspresi hingga napas terakhir meninggalkannya.

Setelah memastikan bahwa Li Wei telah mati, Xiao Qing berbalik dan berjalan keluar kamar. Dia meninggalkan istana itu, meninggalkan semua yang pernah dimilikinya, meninggalkan putra yang dicintainya. Dia berjalan menuju malam, menuju ketidakpastian, membawa beban dendam yang telah dipendamnya selama bertahun-tahun.

Balas dendam telah terbalas, tapi kebebasan sejati tidak pernah datang.

Dia berjalan, tanpa tujuan, menyusuri jalan setapak yang berdebu, di bawah langit malam yang tanpa bintang.

Dan dia terus berjalan... dengan senyum yang lebih mematikan dari racun, meninggalkan pertanyaan abadi di benak setiap orang yang mendengar kisahnya: apakah dia benar-benar menang, atau hanya menjadi hantu yang lebih kejam daripada yang diburunya?

You Might Also Like: 0895403292432 Skincare Halal Dan Aman

OlderNewest

Post a Comment